Kamis, 30 Januari 2014

Laporan Ekologi Lahan Basah

 BAB  I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
        Wilayah  pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang  mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga  mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. 
       Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. di beberapa daerah wilayah pesisir di indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. hal seperti ini terutama terdapat di aceh, sumatera, riau, pantai utara jawa, sulawesi selatan, bali, dan kalimantan timur. kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan  mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air laut. salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat.  selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. pemerintah sepertinya kurang percaya bahwa rakyat mampu mengelola sumber daya alam yang ada di lingkungannya (sallatang dalam golar, 2002).  
 1.2.       Tujuan Praktikum
 Tujuan dari praktikum ekologi lahan basah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dan melihat langsung kondisi hutan mangrove yang ada di Mempawah dan jenis-jenis yang mendominasinya
2.      Untuk mengetahui dan melihat langsung kondisi hutan kerangas yang ada di Mandor
3.      Untuk mengetahui dan melihat langsung areal gambut yang ada di Desa Galang


BAB  II
METODE PRAKTIKUM

2.1.    Tempat Dan Waktu
          Lokasi yang dituju pada  praktikum ekologi lahan basah terdapat 3 lokasi yaitu :
Ø  Lokasi pertama        : di Mempawah
Ø  Lokasi kedua           : di Mandor
Ø  Lokasi ketiga           : di Desa Galang

Hari/Tanggal                  : Sabtu, 15 Desember 2012
Waktu                            : Pukul 07.00 s/d Selesai

2.2.    Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ekologi lahan basah ini yaitu alat-alat tulis seperti buku dan pulpen yang digunakan untuk mencatat hasil yang didapat dalam praktikum, serta kamera yang digunakan untuk mengambil obyek/gambar yang dilihat di lapangan.

2.3.    Prosedur Kerja
1.      Melihat langsung kondisi yang ada dilapangan
2.      Bertanya pada warga/masyarakat sekitar hutan, mengenai hutan tersebut
3.      Mencatat hasil kedalam buku dan dokumentasi gambar
4.      Tahap terakhir membuat laporan

BAB  III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.    Hutan Bakau
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

 

a.      Lingkungan fisik dan zonasi

Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia. Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:

1.      Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.

2.      Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.

3.      Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).

b.      Bentuk-bentuk adaptasi

Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.

c.       Perkembangbiakan

Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.

d.      Suksesi hutan bakau

Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.

e.       Kekayaan flora

Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.

Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).

3.2.    Hutan Gambut
Hutan gambut merupakan jenis hutan rawa yang relatif tergenang sepanjang tahun, dengan karakteristik kondisi tanah yang mempunyai tingkat keasaman yang sangat ekstrem dimana pH tanah selalu di bawah angka 3, sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis flora yang khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi, secara awam hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas tanah gambut.
Tanah gambut sendiri merupakan jenis tanah histosol yang kandungannya lebih banyak berupa gambut. Gambut sendiri di definisikan sebagai hasil proses dekomposisi tidak sempurna dari bagian bagian tumbuhan, sejak berjuta juta tahun yang lalu, Tengah gambut mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang sangat khas, dengan tekstur tanah yang lebih mirip spon karena kerapatan tanah rendah dan sifat kimia tanah berupa pH yang sangat rendah membuat lahan gambut bukanlah tempat yang potensial untuk pengembangan ekstensifikasi ertanian. Hutan gambut bisa tumbuh subur di atas tanah gambut karena terjadi siklus hara tertutup.
Meskipun lebih banyak terbentuk pada masa Holoceen (historis) dibandingkan pada masa prasejarah (pre-historis), namun lahan gambut melingkupi area yang sangat luas pada dataran rendah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Dengan kandungan karbon dioksida yang sangat besar, serta pengaruhnya terhadap aliran air, lahan gambut memiliki pengaruh penting terhadap fungsi kimiawi dan hidrologi bagi umat manusia, baik dalam skala lokal maupun global.
Kebanyakan hutan rawa gambut di Indonesia terbentuk mulai kira-kira 5.000 hingga 8.000 tahun yang lalu. Pada masa itu dataran alluvial (tanah endapan) yang luas terbentuk sepanjang pantai pulau Kalimantan, Sumatra dan Irian Jaya, sebagai akibat dari bertambahnya partikel tanah lempung dan turunnya permukaan air laut sebanyak beberapa meter. Hutan bakau yang awalnya terbentuk di dataran tersebut, secara perlahan digantikan oleh spesies tumbuhan lainnya sebagai akumulasi bahan-bahan organik yang disebabkan adanya perubahan kondisi pertumbuhan. Perlahan-lahan pula, hutan rawa bakau di daerah pasang surut (air laut) terangkat dan beralih menjadi hutan rawa gambut (dalam kondisi air tawar).
Karena hutan rawa gambut adalah dalam kondisi murni air tawar, maka mereka memiliki karakteristik kimiawi yang khas. Airnya sangat asam (pH 3,0 – 4,5) dan unsur hara yang sangat rendah, karena tidak ada nutrisi atau komponen penyangga yang dapat mengalir masuk dari luar area gambut tersebut. Tanah gambut dalam kondisi yang tak terganggu itu mengandung 80 – 90 persen air. Karena kemampuannya untuk menyimpan air dalam jumlah besar itu, hutan rawa gambut berperan penting dalam mengurangi banjir dan menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Hutan rawa gambut seringkali digolongkan sebagai Blackwater Systems (Sistem Air Hitam), karena air yang mengalir dari area tersebut dipengaruhi oleh bahan dari tanah gambut, yang menyebabkan airnya berwarna seperti “cola” gelap.
Tingkat akumulasi gambut selalu berubah dari waktu ke waktu. Gambut yang masih muda, terakumulasi maksimal sebanyak 4,7 milimeter per tahun. Semakin lama tingkat akumulasi ini semakin berkurang, hingga kurang dari 2,2 milimeter per tahun. Kedalaman lapisan gambut tersebut berbeda-beda di masing-masing tempat, berkisar sebanyak kurang dari satu meter pada gambut muda, hingga mencapai kedalaman 24 meter pada lumpur gambut tua di Provinsi Riau, Sumatra. Pembentukan gambut berhubungan dengan kemampuannya untuk menahan air, oleh karena itu gambut tersebut berbentuk kubah, seperti tetesan air pada suatu permukaan yang rata. Sistem tersebut bergantung pada keseimbangan hidrostatik yang membuat gambut dapat menahan air hujan di atas permukaan air normal. Jika ada suatu hal yang mengganggu keseimbangan ini, misalnya dengan menggali parit kecil untuk drainase / pengairan, maka keseimbangan air dalam jumlah besar ini akan terganggu dan menyebabkan adanya kekeringan lahan gambut secara luas. Hal tersebut juga mengakibatkan terjadinya oksidasi di kawasan yang kering, menghasilkan molekul karbon yang menyatu dengan oksigen, sehingga menghasilkan karbon dioksida, gas rumah kaca yang kemudian secara otomatis dilepaskan ke atmosfir.
Gambut tropis tersebar luas di seluruh dunia. Sejumlah kecil terdapat di sebagian Amerika Latin, Afrika dan Karibia. Jumlah terbanyak terutama ditemukan di Asia Tenggara. Jumlah keseluruhan lahan gambut yang ada di kawasan tersebut diperkirakan sebanyak 33 juta hektar. Sebagian besarnya, yaitu sekitar 27 juta hektar, terdapat di dataran rendah di Indonesia. Lahan yang lebih kecil terdapat di Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Banyak negara yang telah kehilangan lahan gambutnya dalam jumlah yang cukup besar. Gangguan yang terjadi seperti kebakaran, pembukaan lahan dan penebangan, akan menyebabkan berkurangnya kawasan lahan gambut lebih banyak lagi.
Hutan rawa gambut di Indonesia adalah rumah bagi berbagai macam spesies tumbuhan dan hewan. Pohon-pohon besar yang menjulang mencapai ketinggian lebih dari 70 meter diselingi dengan tumbuhan palem, tumbuhan merambat dan vegetasi semak belukar yang padat. Sungai air hitam mengalir perlahan mencari jalannya melalui hutan yang luas tersebut. Inilah habitat yang membentuk wilayah yang tak terjelajahi dengan banyak sekali spesies alam liar di dalamnya.
Hutan rawa gambut terdiri dari beberapa jenis vegetasi. Dari arah sungai menuju ke tengah kubah gambut terdapat perubahan yang berlanjut dalam komposisi spesies dan struktur hutan. Sungai-sungai tersebut didominasi oleh rerumputan apung dan tumbuhan palem yang berduri dan melilit, yang dapat menghalangi sungai tersebut, membuat sulit bahkan tidak bisa untuk diarungi. Tumbuhan palem dan beraneka ragam pohon besar seperti Terentang, Pulai dan Meranti mendominasi di sekitar sungai. Keragaman tersebut mulai berkurang dengan jelas terlihat menuju area deposit gambut yang lebih dalam di sekitar pusat dari kubah gambut tersebut. Salah satu species khas di rawa gambut adalah Ramin, yang merupakan jenis pohon yang bernilai komersial tinggi. Hanya ada sedikit spesies yang tahan terhadap kondisi pasokan unsur hara yang amat sedikit dan juga simpanan air yang hampir selalu konstan di bagian hutan ini. Pertumbuhan pohon-pohon pun amat terhambat. Di beberapa wilayah, pepohonan tumbuh tidak lebih dari ketinggian 10 hingga 15 meter.
Tumbuh-tumbuhan berkembang dengan sejumlah cara untuk mengatasi ketersediaan unsur hara yang sedikit. Untuk mencegah kekurangan nutrisi yang disebabkan oleh adanya hewan-hewan herbivora, kebanyakan spesies tumbuhan di hutan rawa gambut menghasilkan senyawa beracun dan jaringan pelindung yang kuat dalam buah, biji dan bagian-bagian lainnya. Banyak pohon dan tumbuhan palem mengembangkan hubungan simbiosis dengan kelompok semut. Semut-semut tersebut mendapatkan hasil fotosintesis yang dilepaskan dari cabang-cabang pohon yang berlubang. Semut tersebut memberikan nutrisi yang penting bagi tumbuhan tersebut dengan membuang kotorannya dan mati di sekitar tumbuhan tersebut. Tumbuh-tumbuhan karnivora juga berkembang dengan adaptasi, misalnya spesies Nephentes yang merupakan tumbuhan teko, menarik serangga agar terperangkap dalam daunnya yang berbentuk teko, sebagai cara untuk memperoleh nutrisi.
Cara-cara adaptasi yang dikembangkan tumbuhan untuk menghadapi periode banjir yang berlebihan, juga merupakan salah satu keunikan tersendiri dari hutan rawa gambut. Pepohonan bertahan hidup dalam periode banjir dengan membentuk akar gantung (aerial) dan pneumatophora. Biji-bijiannya juga hanya berkecambah pada micro-elevasi yang kecil, seperti pohon yang tumbang, sehingga menyebabkan terjadinya pola persemaian yang dinamis.
Tingkat penyebaran pada hutan rawa gambut adalah rendah, karena ekosistem ini terbentuk di masa historis, bukan pada masa pra sejarah. Meskipun demikian, lahan gambut di Indonesia memiliki pengaruh penting terhadap kehidupan di masa depan bagi sejumlah spesies yang langka dan terancam punah. Populasi yang kecil dari spesies yang sulit ditemui seperti misalnya Itik Bersayap Putih (White-winged Duck), burung bangau Storm dan False Gavial, keberadaannya sangat terbatas dalam ekosistem hutan rawa gambut. Spesies lainnya, seperti Harimau Sumatra dan juga Badak Sumatra lebih luas penyebarannya, namun saat ini menjadi langka populasinya. Lahan gambut Indonesia adalah juga sangat penting bagi keberlangsungan hidup populasi Orangutan yang tersisa. Sejumlah besar yang bertahan hidup dari populasi di seluruh dunia ada di hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah.

3.3.    Hutan Kerangas
Hutan kerangas merupakan tipe hutan tropis yang memiliki tanah podsol dengan pH 3-4 dan kandungan haranya rendah dan sangat peka terhadap gangguan. Tekstur tanahnya kasar, miskin unsur hara dan sifatnya yang asam membuat hutan kerangas tidak dapat ditanami lagi setelah dibakar (terjadi kebakaran) dan ditebang.
Hutan ini juga umumnya terdapat di daerah dataran rendah, beriklim selalu basah. Hutan kerangas yang paling luas dapat ditemui di tropika bagian timur.
Sementara di daerah Malaysia tersebar secara terbatas (tidak merata) begitu juga di Brunei. Hutan ini juga dapat ditemui di Sumatra, Belitung, Singkep, Teluk dan Menamang. Khusus untuk daerah Teluk Kaba, tumbuhan kantung semar banyak dijumpai, namun belum ada penelitian mendalam mengenai hal ini.
Berbeda dengan hutan kerangas di Teluk Kaba, hutan kerangas Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, yang pernah terbakar memiliki pohon jenis melastoma polyanthum yang mendominasi hutan setelah terjadi kebakaran.

Hutan Kerangas umumnya tumbuh diatas tanah podsol, tanah pasir dan keras yang sarang, miskin hara dan pH rendah. Ciri umum ekosistem ini antara lain adalah :
1) Iklim selalu basah;
2) Tanah pasir, podsol; dan
3) Tanah rendah rata.
Ciri-ciri hutan kerangas, sebuah formasi hutan dataran rendah yang menarik menurut suku iban di Kalimantan, kerangas berarti hutan yang tanahnya tidak dapat ditumbuhi padi. tipe hutan ini didominasi oleh jenis pohon berukuran pendek dengan kanopi yang hanya memiliki satu lapisan saja. kerangas dapat ditemukan dalam kawasan yang sangat luas di kalimantan (bahkan disebut-sebut terluas di Asia Tenggara) dan sedikit di Sumatra. Tipe tanah kerangas mengandung silika, batu pasir, miskin unsur hara, mudah erosi, dan ditutup oleh lapisan tipis serasah. pada kedalaman satu meter dapat ditemukan lapisan padzol berwarna putih, yang kaya zat besi,dan berfungsi sebagai penangkap air tanah. air tanah berwarna hitam mengandung asam humus dan miskin hara.

BAB  IV
PEMBAHASAN

4.1.    Lokasi Pertama ( Hutan Mangrove/Bakau di Mempawah )
Yang paling banyak ditemukan di hutan mangrove di Mempawah pada umumnya adalah Avicenia sp. Walaupun berada di air asin, namun tumbuhan tidak menggunakan air asin untuk fotosintesis, tetapi tetap menggunakan air tawar. Air asin yang banyak mengandung garam akan disaring oleh tumbuh-tumbuhan di akarnya. Diantaranya dengan membuat filter/saringan dan dengan membuat kelenjar-kelenjar di ujung akar.
Dari hasil pengamatan yang telah kami lakukan, ternyata hampir 100% pohon–pohon yang mendominasi pada hutan mangrove yang ada di Mempawah adalah jenis Avicenia sp. Namun ada juga jenis lainnya seperti Rhizophora sp.
Pada lapisan pertama ditepi pantai terdapat jenis Avicenia sp. yang masih muda, dan dilokasi tersebut terlihat ada jenis bakau yang tumbuh yang ditanam oleh warga yang berada didaerah tersebut, padahal jenis bakau tempat tumbuhnya bukan ditepi pantai seperti Avecinia sp. namun kami tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun kemudian apakah jenis bakau itu dapat tumbuh dengan baik atau tidak. Pada lapisan kedua masih terdapat jenis Avecinia sp namun jenis ini sudah lebih besar dan tinggi dari Avecinia sp yang ada di lapaisan pertama.
Berdasarkan informasi yang kami dapat dari warga, terdapat 2 jenis Avecinia yang tumbuh di daerah tersebut yaitu Avecinia Hitam dan Avecinia Putih, masing-masing mempunyai perbedaan. Avecinia Hitam warna daunnya lebih gelap/hijau tua, sedangkan Avecinia Putih warna daunya hijau muda, Avecinia Hitam hanya dapat ditemui ditepi-tepi aliran sungai/parit yang menuju kelaut saja dan dibagian tengah tidak terdapat Avecinia Hitam. Sedangkan Avicenia Putih dapat ditemui disemua lapisan pertama dan lapisan kedua. Bentuk perakaran dari pohon Avecinia ini adalah memiliki akar pensil dan bentuk buahnya adalah berbentuk bola.

 Pada lapisan ketiga terdapat jenis bakau yang kami temui, namun tidak begitu banyak, hanya beberapa pohon saja.



















Gambar Pohon Bakau ( Rhizophora sp. ) yang terdapat di Mempawah

Rhizophora memiliki akar jangkar yang berfungsi untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur serta menahan pohon dari terpaan ombak, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Jenis Bakau bersifat vivipar: yaitu biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan.
  
4.2.    Lokasi Kedua ( Hutan Kerangas di Mandor )
Dari hasil pengamatan saya dilokasi hutan kerangas yang ada di Mandor, terlihat bahwa kondisi hutan ini sudah rusak berat akibat dari penambangan emas tanpa izin yang dilakukan oleh warga yang menambang emas diareal hutan tersebut. Akibatnya tidak ada tanaman/pohon yang dapat tumbuh dibekas areal penambangan tersebut, karena tanahnya sudah dipenuhi oleh pasir, pasir yang tadinya berada didalam menjadi keluar keatas tanah dan menutupi tanah. Seperti terlihat pada gambar dibawah ini.


















Hutan kerangas merupakan tipe hutan tropis yang memiliki tanah podsol dengan pH 3-4 dan kandungan haranya rendah dan sangat peka terhadap gangguan. Tekstur tanahnya kasar, miskin unsur hara dan sifatnya yang asam membuat hutan kerangas tidak dapat ditanami lagi setelah dibakar (terjadi kebakaran) dan ditebang atau seperti gambar diatas.
 Hutan ini juga umumnya terdapat di daerah dataran rendah, beriklim selalu basah. Hutan Kerangas umumnya tumbuh diatas tanah podsol, tanah pasir dan keras yang sarang, miskin hara dan pH rendah. Ciri umum ekosistem ini antara lain adalah :
1) Iklim selalu basah;
2) Tanah pasir, podsol; dan
3) Tanah rendah rata.
Tipe tanah kerangas mengandung silika, batu pasir, miskin unsur hara, mudah erosi, dan ditutup oleh lapisan tipis serasah. pada kedalaman satu meter dapat ditemukan lapisan padzol berwarna putih, yang kaya zat besi, dan berfungsi sebagai penangkap air tanah. air tanah berwarna hitam mengandung asam humus dan miskin hara.

4.3.    Lokasi Ketiga ( Gambut di Galang )
Gambar dibawah ini adalah lokasi gambut yang berada di Desa Galang Kecamatan Sungai Pinyuh. Lahan gambut ini ditanami pohon-pohon sawit, dan ternyata sawit yang ditanami dilahan ini tidak dapat tumbuh dengan baik bahkan ada yang sudah mati karena gambut ini dalamnya merupakan pasir kursa.       


















Tebal gambut ini tidak dalam hanya beberapa cm saja, sedangkan perakaran pohon sawit yang masuk ke dalam tanah sangat dalam, sehingga pohon sawit ini kekurangan unsur-unsur hara karena dasar dari gambut ini adalah pasir kuarsa yang miskin unsur hara yang menyebabkan sawit-sawit yang ditanam diatas gambut itu mati.
Berbeda dengan tanaman Nanas yang ditanam pada lahan yang sama, nanas itu dapat tumbuh dengan baik karena perakaran dari nanas tidak dalam hanya berada pada lapisan atas gambut saja sehingga nanas tersebut dapat mengambil unsur-unsur hara yang ada dilapisan gambut itu dan dapat tumbuh dengan baik hingga berbuah.
Hutan gambut merupakan jenis hutan rawa yang relatif tergenang sepanjang tahun, dengan karakteristik kondisi tanah yang mempunyai tingkat keasaman yang sangat ekstrem dimana pH tanah selalu di bawah angka 3, sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis flora yang khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi.
Tanah gambut sendiri merupakan jenis tanah histosol yang kandungannya lebih banyak berupa gambut. Gambut sendiri di definisikan sebagai hasil proses dekomposisi tidak sempurna dari bagian bagian tumbuhan, sejak berjuta juta tahun yang lalu, Tengah gambut mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang sangat khas, dengan tekstur tanah yang lebih mirip spon karena kerapatan tanah rendah dan sifat kimia tanah berupa pH yang sangat rendah membuat lahan gambut bukanlah tempat yang potensial untuk pengembangan ekstensifikasi pertanian.

 BAB  V
P E N UT U P

5.1.    Kesimpulan
   Berdasarkan hasil praktikum pada lokasi pertama (Mempawah) dapat disimpulkan bahwa hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Pohon yang mendominasi pada hutan tersebut adalah pohon Avecinia sp. yang terdiri dari 2 jenis yaitu Avecinia Hitam dan Avecinia Putih. Pohon-pohon ini memiliki akar pensil yang digunakan untuk mengambil oksigen diudara dan bentuk buah pohon-pohon ini adalah berbentuk bola. Sedangkan bentuk perakaran dari pohon Rhizphora sp. adalah memiliki akar jangkar yang fungsinya sama untuk mengambil oksigen diudara dan buahnya berbentuk silindris.
Berdasarkan hasil praktikum pada lokasi kedua (Mandor) bahwa kondisi hutan kerangas yang ada sudah rusak akibat penambangan emas tanpa izin sehingga hutan tersebut tidak dapat ditanami pohon-pohon lagi karena telah dipenuhi tumpukan pasir bekas penambangan. Hutan kerangas merupakan tipe hutan tropis yang memiliki tanah podsol dengan pH 3-4 dan kandungan haranya rendah dan sangat peka terhadap gangguan. Tekstur tanahnya kasar, miskin unsur hara dan sifatnya yang asam membuat hutan kerangas tidak dapat ditanami lagi setelah dibakar (terjadi kebakaran) dan ditebang.
Berdasarkan hasil praktikum pada lokasi ketiga (Desa Galang) bahwa hutan gambut yang ada merupakan jenis hutan rawa yang relatif tergenang sepanjang tahun, dengan karakteristik kondisi tanah yang mempunyai tingkat keasaman yang sangat ekstrem dimana pH tanah selalu di bawah angka 3, dan dalam tanahnya merupakan pasir kuarsa sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis flora yang khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi.


DAFTAR  PUSTAKA

Anonim, http://hikmahalinda. wordpress.com/hutan/ ( Diakses Tanggal 12 Desember 2012)
Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Gambut (Diakses Tanggal 12-12-2012)Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau (Diakses Tanggal 12-12-2012)  


0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html