BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Salah satu bagian
terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah
wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah
pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena
merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan
laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi
cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki
wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan
secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral
memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan,
perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Wilayah pesisir merupakan
ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup
beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove
merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan
kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota
perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam
biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis
yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik
penangkapan ikan.
Hutan mangrove sebagai salah satu
ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan
masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah
semakin kritis ketersediaannya. di beberapa daerah wilayah pesisir di indonesia
sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan
mangrove yang melampaui batas kelestariannya. hutan mangrove telah dirubah
menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian,
pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. hal
seperti ini terutama terdapat di aceh, sumatera, riau, pantai utara jawa,
sulawesi selatan, bali, dan kalimantan timur. kegiatan pembangunan tidak perlu
merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan
yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir
dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi
jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup
biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput
laut, serta mencegah intrusi air laut. salah satunya model pendekatan
pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan
mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat. selama
ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dikontrol kuat oleh negara yang
pengelolaannya selalu didelegasikan kepada pengusaha besar, jarang kepada
rakyat kecil. pemerintah sepertinya kurang percaya bahwa rakyat mampu mengelola
sumber daya alam yang ada di lingkungannya (sallatang
dalam golar, 2002).
1.2.
Tujuan
Praktikum
Tujuan dari praktikum
ekologi lahan basah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui dan melihat langsung kondisi hutan mangrove yang ada di Mempawah dan
jenis-jenis yang mendominasinya
2. Untuk
mengetahui dan melihat langsung kondisi hutan kerangas yang ada di Mandor
3. Untuk
mengetahui dan melihat langsung areal gambut yang ada di Desa Galang
BAB II
METODE
PRAKTIKUM
2.1. Tempat Dan Waktu
Lokasi
yang dituju pada praktikum ekologi lahan
basah terdapat 3 lokasi yaitu :
Ø Lokasi
pertama : di Mempawah
Ø Lokasi
kedua : di Mandor
Ø Lokasi
ketiga : di Desa Galang
Hari/Tanggal : Sabtu, 15 Desember 2012
Waktu
: Pukul 07.00
s/d Selesai
2.2. Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ekologi lahan
basah ini yaitu alat-alat tulis seperti buku dan pulpen yang digunakan untuk
mencatat hasil yang didapat dalam praktikum, serta kamera yang digunakan untuk
mengambil obyek/gambar yang dilihat di lapangan.
2.3. Prosedur Kerja
1. Melihat
langsung kondisi yang ada dilapangan
2. Bertanya
pada warga/masyarakat sekitar hutan, mengenai hutan tersebut
3. Mencatat
hasil kedalam buku dan dokumentasi gambar
4. Tahap
terakhir membuat laporan
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1. Hutan Bakau
Hutan bakau
atau disebut juga hutan mangrove
adalah hutan yang tumbuh di atas
rawa-rawa berair
payau yang terletak pada
garis
pantai dan dipengaruhi oleh
pasang-surut air laut. Hutan
ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi
pelumpuran dan
akumulasi bahan
organik. Baik di
teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran
ombak, maupun di sekitar
muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari
hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya
pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya
aerasi tanah;
salinitas
tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air
laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini,
dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses
adaptasi
dan
evolusi.
a.
Lingkungan
fisik dan zonasi
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di
dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa
di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau
Indonesia
antara 2,5 hingga 4,5 juta
hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi
Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding
dkk, 1997
dalam Noor dkk, 1999). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang
luas terdapat di seputar
Dangkalan Sunda yang
relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di
pantai timur
Sumatra,
dan pantai barat serta selatan
Kalimantan. Di pantai utara
Jawa, hutan-hutan ini
telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi
Dangkalan Sahul,
hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya
Papua, terutama di
sekitar
Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3
juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia. Jenis-jenis
tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan
fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona
vegetasi
tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
1. Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan,
substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau
tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur
dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini
sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas
tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan
pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2.
Terpaan
ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan
bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak
yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih
tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung
dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya,
salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang
agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang
menahan laju ombak besar.
3. Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan
air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan
kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di
pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang
tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi variasi-variasi kondisi
lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang
biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut,
hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya
tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora
apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan
bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia
alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang
hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir
ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih
tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata
dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera
spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan
lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa
ditemui nipah (Nypa
fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera
spp.).
Pada bagian yang lebih kering di
pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera
racemosa), dungun (Heritiera
littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
b.
Bentuk-bentuk
adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan
beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan
vegetasi
mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar
dan kelenjar
garam
di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi
fisiologis.
Pohon-pohon bakau (
Rhizophora spp.), yang biasanya
tumbuh di zona terluar, mengembangkan
akar tunjang (
stilt root)
untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis
api-api (
Avicennia
spp.) dan
pidada
(
Sonneratia spp.) menumbuhkan
akar napas (
pneumatophore)
yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil
oksigen dari
udara. Pohon
kendeka
(
Bruguiera spp.) mempunyai
akar lutut (
knee root),
sementara pohon-pohon
nirih (
Xylocarpus spp.)
berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya
pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya.
Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki
lentisel,
lubang pori pada
pepagan
untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan
kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain,
seperti
Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir
tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir
tawar, sekitar 90-97% dari kandungan
garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung
di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di
daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan
mulut daun (
stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik,
sehingga mengurangi
evaporasi dari daun.
c.
Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang
biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan
jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi
kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut
membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah
yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain
itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat
vivipar: yakni biji atau benihnya
telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan
buah-buah bakau (
Rhizophora),
tengar (
Ceriops)
atau kendeka (
Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan
mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada
tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di
lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada
bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke
tempat-tempat jauh.
Buah
nipah (
Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara
masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api,
kaboa (
Aegiceras),
jeruju (
Acanthus) dan
beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah
luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan
hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut
dengan istilah
propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan
ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi
laut atau
selat
bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (
dormant)
berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang
cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah
perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam
dan propagul mengambang
vertikal di air. Ini
memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang
berlumpur.
d.
Suksesi
hutan bakau
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah
suksesi hutan (
forest succession atau
sere). Hutan bakau
merupakan suatu contoh suksesi hutan di
lahan basah
(disebut
hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui
bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara
perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (
mudflat)
yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat
substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan
mulailah terbentuk vegetasi
pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap
lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus
laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara
perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan
terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering
dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia
alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru
seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian
belakang.
e.
Kekayaan
flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi
hanya sekitar 54
spesies
dari 20
genera,
anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove
sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan
mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di
Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di
lingkungan
Samudera Hindia dan
Pasifik. Total
jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan,
adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
3.2. Hutan Gambut
Hutan gambut merupakan jenis hutan rawa yang relatif
tergenang sepanjang tahun, dengan karakteristik kondisi tanah yang mempunyai
tingkat keasaman yang sangat ekstrem dimana pH tanah selalu di bawah angka 3,
sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis flora yang
khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi, secara awam hutan gambut
adalah hutan yang tumbuh di atas tanah gambut.
Tanah gambut sendiri merupakan jenis tanah histosol yang
kandungannya lebih banyak berupa gambut. Gambut sendiri di definisikan sebagai
hasil proses dekomposisi tidak sempurna dari bagian bagian tumbuhan, sejak
berjuta juta tahun yang lalu, Tengah gambut mempunyai sifat fisik dan kimia
tanah yang sangat khas, dengan tekstur tanah yang lebih mirip spon karena
kerapatan tanah rendah dan sifat kimia tanah berupa pH yang sangat rendah
membuat lahan gambut bukanlah tempat yang potensial untuk pengembangan
ekstensifikasi ertanian. Hutan gambut bisa tumbuh subur di atas tanah gambut
karena terjadi siklus hara tertutup.
Meskipun lebih banyak terbentuk
pada masa Holoceen (historis) dibandingkan pada masa prasejarah (pre-historis),
namun lahan gambut melingkupi area yang sangat luas pada dataran rendah di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Dengan kandungan karbon dioksida
yang sangat besar, serta pengaruhnya terhadap aliran air, lahan gambut memiliki
pengaruh penting terhadap fungsi kimiawi dan hidrologi bagi umat manusia, baik
dalam skala lokal maupun global.
Kebanyakan hutan rawa gambut di Indonesia terbentuk mulai
kira-kira 5.000 hingga 8.000 tahun yang lalu. Pada masa itu dataran alluvial
(tanah endapan) yang luas terbentuk sepanjang pantai pulau Kalimantan, Sumatra
dan Irian Jaya, sebagai akibat dari bertambahnya partikel tanah lempung dan
turunnya permukaan air laut sebanyak beberapa meter. Hutan bakau yang awalnya
terbentuk di dataran tersebut, secara perlahan digantikan oleh spesies tumbuhan
lainnya sebagai akumulasi bahan-bahan organik yang disebabkan adanya perubahan
kondisi pertumbuhan. Perlahan-lahan pula, hutan rawa bakau di daerah pasang
surut (air laut) terangkat dan beralih menjadi hutan rawa gambut (dalam kondisi
air tawar).
Karena hutan rawa gambut adalah dalam kondisi murni air
tawar, maka mereka memiliki karakteristik kimiawi yang khas. Airnya sangat asam
(pH 3,0 – 4,5) dan unsur hara yang sangat rendah, karena tidak ada nutrisi atau
komponen penyangga yang dapat mengalir masuk dari luar area gambut tersebut.
Tanah gambut dalam kondisi yang tak terganggu itu mengandung 80 – 90 persen
air. Karena kemampuannya untuk menyimpan air dalam jumlah besar itu, hutan rawa
gambut berperan penting dalam mengurangi banjir dan menjamin pasokan air yang
berkelanjutan. Hutan rawa gambut seringkali digolongkan sebagai Blackwater
Systems (Sistem Air Hitam), karena air yang mengalir dari area tersebut
dipengaruhi oleh bahan dari tanah gambut, yang menyebabkan airnya berwarna
seperti “cola” gelap.
Tingkat akumulasi gambut selalu berubah dari waktu ke waktu.
Gambut yang masih muda, terakumulasi maksimal sebanyak 4,7 milimeter per tahun.
Semakin lama tingkat akumulasi ini semakin berkurang, hingga kurang dari 2,2
milimeter per tahun. Kedalaman lapisan gambut tersebut berbeda-beda di
masing-masing tempat, berkisar sebanyak kurang dari satu meter pada gambut
muda, hingga mencapai kedalaman 24 meter pada lumpur gambut tua di Provinsi
Riau, Sumatra. Pembentukan gambut berhubungan dengan kemampuannya untuk menahan
air, oleh karena itu gambut tersebut berbentuk kubah, seperti tetesan air pada
suatu permukaan yang rata. Sistem tersebut bergantung pada keseimbangan
hidrostatik yang membuat gambut dapat menahan air hujan di atas permukaan air
normal. Jika ada suatu hal yang mengganggu keseimbangan ini, misalnya dengan
menggali parit kecil untuk drainase / pengairan, maka keseimbangan air dalam
jumlah besar ini akan terganggu dan menyebabkan adanya kekeringan lahan gambut
secara luas. Hal tersebut juga mengakibatkan terjadinya oksidasi di kawasan
yang kering, menghasilkan molekul karbon yang menyatu dengan oksigen, sehingga
menghasilkan karbon dioksida, gas rumah kaca yang kemudian secara otomatis
dilepaskan ke atmosfir.
Gambut tropis tersebar luas di seluruh dunia. Sejumlah kecil
terdapat di sebagian Amerika Latin, Afrika dan Karibia. Jumlah terbanyak terutama
ditemukan di Asia Tenggara. Jumlah keseluruhan lahan gambut yang ada di kawasan
tersebut diperkirakan sebanyak 33 juta hektar. Sebagian besarnya, yaitu sekitar
27 juta hektar, terdapat di dataran rendah di Indonesia. Lahan yang lebih kecil
terdapat di Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Banyak negara yang telah
kehilangan lahan gambutnya dalam jumlah yang cukup besar. Gangguan yang terjadi
seperti kebakaran, pembukaan lahan dan penebangan, akan menyebabkan
berkurangnya kawasan lahan gambut lebih banyak lagi.
Hutan rawa gambut di
Indonesia adalah rumah bagi berbagai macam spesies tumbuhan dan hewan.
Pohon-pohon besar yang menjulang mencapai ketinggian lebih dari 70 meter
diselingi dengan tumbuhan palem, tumbuhan merambat dan vegetasi semak belukar yang
padat. Sungai air hitam mengalir perlahan mencari jalannya melalui hutan yang
luas tersebut. Inilah habitat yang membentuk wilayah yang tak terjelajahi
dengan banyak sekali spesies alam liar di dalamnya.
Hutan rawa gambut terdiri dari beberapa jenis vegetasi. Dari
arah sungai menuju ke tengah kubah gambut terdapat perubahan yang berlanjut
dalam komposisi spesies dan struktur hutan. Sungai-sungai tersebut didominasi
oleh rerumputan apung dan tumbuhan palem yang berduri dan melilit, yang dapat
menghalangi sungai tersebut, membuat sulit bahkan tidak bisa untuk diarungi.
Tumbuhan palem dan beraneka ragam pohon besar seperti Terentang, Pulai dan
Meranti mendominasi di sekitar sungai. Keragaman tersebut mulai berkurang
dengan jelas terlihat menuju area deposit gambut yang lebih dalam di sekitar
pusat dari kubah gambut tersebut. Salah satu species khas di rawa gambut adalah
Ramin, yang merupakan jenis pohon yang bernilai komersial tinggi. Hanya ada
sedikit spesies yang tahan terhadap kondisi pasokan unsur hara yang amat
sedikit dan juga simpanan air yang hampir selalu konstan di bagian hutan ini.
Pertumbuhan pohon-pohon pun amat terhambat. Di beberapa wilayah, pepohonan
tumbuh tidak lebih dari ketinggian 10 hingga 15 meter.
Tumbuh-tumbuhan berkembang dengan sejumlah cara untuk
mengatasi ketersediaan unsur hara yang sedikit. Untuk mencegah kekurangan
nutrisi yang disebabkan oleh adanya hewan-hewan herbivora, kebanyakan spesies
tumbuhan di hutan rawa gambut menghasilkan senyawa beracun dan jaringan
pelindung yang kuat dalam buah, biji dan bagian-bagian lainnya. Banyak pohon
dan tumbuhan palem mengembangkan hubungan simbiosis dengan kelompok semut.
Semut-semut tersebut mendapatkan hasil fotosintesis yang dilepaskan dari
cabang-cabang pohon yang berlubang. Semut tersebut memberikan nutrisi yang
penting bagi tumbuhan tersebut dengan membuang kotorannya dan mati di sekitar
tumbuhan tersebut. Tumbuh-tumbuhan karnivora juga berkembang dengan adaptasi,
misalnya spesies Nephentes yang merupakan tumbuhan teko, menarik serangga agar
terperangkap dalam daunnya yang berbentuk teko, sebagai cara untuk memperoleh
nutrisi.
Cara-cara adaptasi yang dikembangkan tumbuhan untuk
menghadapi periode banjir yang berlebihan, juga merupakan salah satu keunikan
tersendiri dari hutan rawa gambut. Pepohonan bertahan hidup dalam periode
banjir dengan membentuk akar gantung (aerial) dan pneumatophora. Biji-bijiannya
juga hanya berkecambah pada micro-elevasi yang kecil, seperti pohon yang
tumbang, sehingga menyebabkan terjadinya pola persemaian yang dinamis.
Tingkat penyebaran pada hutan rawa gambut adalah rendah,
karena ekosistem ini terbentuk di masa historis, bukan pada masa pra sejarah.
Meskipun demikian, lahan gambut di Indonesia memiliki pengaruh penting terhadap
kehidupan di masa depan bagi sejumlah spesies yang langka dan terancam punah.
Populasi yang kecil dari spesies yang sulit ditemui seperti misalnya Itik
Bersayap Putih (White-winged Duck), burung bangau Storm dan False Gavial,
keberadaannya sangat terbatas dalam ekosistem hutan rawa gambut. Spesies
lainnya, seperti Harimau Sumatra dan juga Badak Sumatra lebih luas
penyebarannya, namun saat ini menjadi langka populasinya. Lahan gambut
Indonesia adalah juga sangat penting bagi keberlangsungan hidup populasi
Orangutan yang tersisa. Sejumlah besar yang bertahan hidup dari populasi di
seluruh dunia ada di hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah.
3.3. Hutan Kerangas
Hutan kerangas merupakan tipe hutan tropis yang memiliki
tanah podsol dengan pH 3-4 dan kandungan haranya rendah dan sangat peka terhadap
gangguan. Tekstur tanahnya kasar, miskin unsur hara dan sifatnya yang asam
membuat hutan kerangas tidak dapat ditanami lagi setelah dibakar (terjadi
kebakaran) dan ditebang.
Hutan ini juga umumnya terdapat di daerah dataran rendah,
beriklim selalu basah. Hutan kerangas yang paling luas dapat ditemui di tropika
bagian timur.
Sementara di daerah Malaysia tersebar secara terbatas (tidak
merata) begitu juga di Brunei. Hutan ini juga dapat ditemui di Sumatra,
Belitung, Singkep, Teluk dan Menamang. Khusus untuk daerah Teluk Kaba, tumbuhan
kantung semar banyak dijumpai, namun belum ada penelitian mendalam mengenai hal
ini.
Berbeda dengan hutan kerangas di Teluk Kaba, hutan kerangas
Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, yang pernah terbakar memiliki
pohon jenis melastoma polyanthum yang mendominasi hutan setelah
terjadi kebakaran.
Hutan Kerangas umumnya tumbuh diatas tanah podsol, tanah
pasir dan keras yang sarang, miskin hara dan pH rendah. Ciri umum ekosistem ini
antara lain adalah :
1)
Iklim selalu basah;
2)
Tanah pasir, podsol; dan
3)
Tanah rendah rata.
Ciri-ciri hutan kerangas, sebuah formasi hutan
dataran rendah yang menarik menurut suku iban di Kalimantan, kerangas berarti
hutan yang tanahnya tidak dapat ditumbuhi padi. tipe hutan ini didominasi oleh
jenis pohon berukuran pendek dengan kanopi yang hanya memiliki satu lapisan
saja. kerangas dapat ditemukan dalam kawasan yang sangat luas di kalimantan
(bahkan disebut-sebut terluas di Asia Tenggara) dan sedikit di Sumatra. Tipe
tanah kerangas mengandung silika, batu pasir, miskin unsur hara, mudah erosi,
dan ditutup oleh lapisan tipis serasah. pada kedalaman satu meter dapat ditemukan
lapisan padzol berwarna putih, yang kaya zat besi,dan berfungsi sebagai
penangkap air tanah. air tanah berwarna hitam mengandung asam humus dan miskin
hara.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Lokasi Pertama ( Hutan Mangrove/Bakau di Mempawah )
Yang paling banyak ditemukan di
hutan mangrove di Mempawah pada umumnya adalah Avicenia sp.
Walaupun berada di air asin, namun tumbuhan tidak menggunakan air asin untuk
fotosintesis, tetapi tetap menggunakan air tawar. Air asin yang banyak
mengandung garam akan disaring oleh tumbuh-tumbuhan di akarnya. Diantaranya
dengan membuat filter/saringan dan dengan membuat kelenjar-kelenjar di ujung
akar.
Dari hasil pengamatan yang telah
kami lakukan, ternyata hampir 100% pohon–pohon yang mendominasi pada hutan mangrove
yang ada di Mempawah adalah jenis Avicenia sp. Namun ada juga
jenis lainnya seperti Rhizophora sp.
Pada lapisan pertama
ditepi pantai terdapat jenis Avicenia sp.
yang masih muda, dan dilokasi tersebut terlihat ada jenis bakau yang tumbuh yang
ditanam oleh warga yang berada didaerah tersebut, padahal jenis bakau tempat
tumbuhnya bukan ditepi pantai seperti Avecinia
sp. namun kami tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun kemudian
apakah jenis bakau itu dapat tumbuh dengan baik atau tidak. Pada lapisan kedua
masih terdapat jenis Avecinia sp
namun jenis ini sudah lebih besar dan tinggi dari Avecinia sp yang ada di lapaisan pertama.
Berdasarkan informasi
yang kami dapat dari warga, terdapat 2 jenis Avecinia yang tumbuh di daerah tersebut yaitu Avecinia Hitam dan
Avecinia Putih, masing-masing mempunyai perbedaan. Avecinia Hitam warna daunnya
lebih gelap/hijau tua, sedangkan Avecinia Putih warna daunya hijau muda, Avecinia
Hitam hanya dapat ditemui ditepi-tepi aliran sungai/parit yang menuju kelaut
saja dan dibagian tengah tidak terdapat Avecinia Hitam. Sedangkan Avicenia
Putih dapat ditemui disemua lapisan pertama dan lapisan kedua. Bentuk perakaran
dari pohon Avecinia ini adalah memiliki akar pensil dan bentuk buahnya adalah
berbentuk bola.
Pada lapisan ketiga terdapat
jenis bakau yang kami temui, namun tidak begitu banyak, hanya beberapa pohon
saja.
Gambar
Pohon Bakau ( Rhizophora sp. ) yang
terdapat di Mempawah
Rhizophora memiliki akar jangkar yang berfungsi untuk menunjang
tegaknya pohon di atas lumpur serta menahan pohon dari terpaan ombak, sambil
pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Jenis Bakau bersifat
vivipar: yaitu biji atau
benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar
panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok
dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya,
atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan.
4.2. Lokasi Kedua ( Hutan Kerangas di Mandor )
Dari hasil pengamatan saya
dilokasi hutan kerangas yang ada di Mandor, terlihat bahwa kondisi hutan ini
sudah rusak berat akibat dari penambangan emas tanpa izin yang dilakukan oleh
warga yang menambang emas diareal hutan tersebut. Akibatnya tidak ada
tanaman/pohon yang dapat tumbuh dibekas areal penambangan tersebut, karena tanahnya
sudah dipenuhi oleh pasir, pasir yang tadinya berada didalam menjadi keluar keatas
tanah dan menutupi tanah. Seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Hutan kerangas merupakan tipe hutan tropis yang memiliki
tanah podsol dengan pH 3-4 dan kandungan haranya rendah dan sangat peka
terhadap gangguan. Tekstur tanahnya kasar, miskin unsur hara dan sifatnya yang
asam membuat hutan kerangas tidak dapat ditanami lagi setelah dibakar (terjadi
kebakaran) dan ditebang atau seperti gambar diatas.
Hutan ini juga umumnya terdapat di daerah dataran rendah,
beriklim selalu basah. Hutan Kerangas umumnya tumbuh diatas tanah podsol, tanah
pasir dan keras yang sarang, miskin hara dan pH rendah. Ciri umum ekosistem ini
antara lain adalah :
1)
Iklim selalu basah;
2)
Tanah pasir, podsol; dan
3)
Tanah rendah rata.
Tipe tanah kerangas mengandung silika,
batu pasir, miskin unsur hara, mudah erosi, dan ditutup oleh lapisan tipis
serasah. pada kedalaman satu meter dapat ditemukan lapisan padzol berwarna
putih, yang kaya zat besi, dan berfungsi sebagai penangkap air tanah. air tanah
berwarna hitam mengandung asam humus dan miskin hara.
4.3. Lokasi Ketiga ( Gambut di Galang )
Gambar dibawah ini
adalah lokasi gambut yang berada di Desa Galang Kecamatan Sungai Pinyuh. Lahan
gambut ini ditanami pohon-pohon sawit, dan ternyata sawit yang ditanami dilahan
ini tidak dapat tumbuh dengan baik bahkan ada yang sudah mati karena gambut ini
dalamnya merupakan pasir kursa.
Tebal gambut ini tidak dalam hanya
beberapa cm saja, sedangkan perakaran pohon sawit yang masuk ke dalam tanah sangat
dalam, sehingga pohon sawit ini kekurangan unsur-unsur hara karena dasar dari
gambut ini adalah pasir kuarsa yang miskin unsur hara yang menyebabkan
sawit-sawit yang ditanam diatas gambut itu mati.
Berbeda dengan tanaman
Nanas yang ditanam pada lahan yang sama, nanas itu dapat tumbuh dengan baik
karena perakaran dari nanas tidak dalam hanya berada pada lapisan atas gambut
saja sehingga nanas tersebut dapat mengambil unsur-unsur hara yang ada
dilapisan gambut itu dan dapat tumbuh dengan baik hingga berbuah.
Hutan gambut merupakan jenis hutan rawa yang relatif
tergenang sepanjang tahun, dengan karakteristik kondisi tanah yang mempunyai
tingkat keasaman yang sangat ekstrem dimana pH tanah selalu di bawah angka 3,
sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis flora yang
khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi.
Tanah gambut sendiri merupakan jenis tanah histosol yang
kandungannya lebih banyak berupa gambut. Gambut sendiri di definisikan sebagai
hasil proses dekomposisi tidak sempurna dari bagian bagian tumbuhan, sejak
berjuta juta tahun yang lalu, Tengah gambut mempunyai sifat fisik dan kimia
tanah yang sangat khas, dengan tekstur tanah yang lebih mirip spon karena
kerapatan tanah rendah dan sifat kimia tanah berupa pH yang sangat rendah
membuat lahan gambut bukanlah tempat yang potensial untuk pengembangan
ekstensifikasi pertanian.
BAB V
P E N UT U P
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum pada lokasi
pertama
(Mempawah) dapat disimpulkan
bahwa hutan bakau atau disebut
juga hutan mangrove adalah hutan
yang tumbuh di atas
rawa-rawa
berair
payau yang terletak pada
garis pantai
dan dipengaruhi oleh
pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi
pelumpuran dan
akumulasi bahan
organik. Baik di
teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran
ombak, maupun di sekitar
muara sungai di mana
air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari
hulu.
Pohon yang mendominasi pada hutan tersebut adalah pohon Avecinia sp. yang terdiri dari 2 jenis
yaitu Avecinia Hitam dan Avecinia Putih. Pohon-pohon ini memiliki akar pensil yang
digunakan untuk mengambil oksigen diudara dan bentuk buah pohon-pohon ini
adalah berbentuk bola. Sedangkan bentuk perakaran dari pohon Rhizphora sp. adalah memiliki akar
jangkar yang fungsinya sama untuk mengambil oksigen diudara dan buahnya berbentuk
silindris.
Berdasarkan hasil praktikum pada lokasi kedua (Mandor) bahwa kondisi hutan kerangas yang
ada sudah rusak akibat penambangan emas tanpa izin sehingga hutan tersebut
tidak dapat ditanami pohon-pohon lagi karena telah dipenuhi tumpukan pasir
bekas penambangan. Hutan kerangas merupakan tipe hutan tropis yang memiliki
tanah podsol dengan pH 3-4 dan kandungan haranya rendah dan sangat peka
terhadap gangguan. Tekstur tanahnya kasar, miskin unsur hara dan sifatnya yang
asam membuat hutan kerangas tidak dapat ditanami lagi setelah dibakar (terjadi
kebakaran) dan ditebang.
Berdasarkan hasil praktikum pada lokasi ketiga (Desa Galang) bahwa hutan gambut yang
ada merupakan jenis hutan rawa yang relatif tergenang sepanjang tahun, dengan
karakteristik kondisi tanah yang mempunyai tingkat keasaman yang sangat ekstrem
dimana pH tanah selalu di bawah angka 3, dan dalam tanahnya merupakan pasir
kuarsa sehingga secara alami flora yang tumbuh di hutan gambut adalah jenis
flora yang khas dan toleran terhadap keasaman tanah yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA